Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pertama kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua sehingga kita dalam keadaan sehat wal afiat. Dan tak lupa kita haturkan shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke jalan yang benar ke jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT.
Kali ini saya akan membahas tentang Sunnatullah. Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan
ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa
akademis disebut hukum alam. Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah
dan Allah. Sunnah artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah
kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah. Kata sunnatullah dan yang
sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas
kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut
berbicara dalam konteks kemasyarakatan.
Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :
1. Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang tertulis
dalam bentuk lembaran atau
dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
2. Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan berupa
kejadian atau fenomena alam.
Contohnya, matahari terbit di ufuk timur dan
tenggelam di ufuk barat.
Kedua sunatullah tersebut memiliki persamaan, yaitu
1. Kedua-duanya berasal dari Allah swt.
2. Kedua-duanya dijamin kemutlakannya.
3. Kedua-duanya tidak dapat diubah atau diganti dengan hukum lainnya.
Contohnya adalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam Al Qur’an
dikatakan bahwa
barang siapa yang beriman dan beramal saleh, pasti akan
mendapat balasan pahala dari Allah swt.
Selain memiliki persamaan, keduanya
juga mempunyai perbedaan. Sunatullah yang ada di alam, dapat
diukur. Lain
halnya dengan sunnatullah yang ada dalam AL-Qur’an. Walaupun hal itu pasti
terjadi,
tetapi tidak diketahui secara pasti kapan waktunya.
Ciri – Ciri Sunnatullah
Wujud dan ciri hukum Allah/ sunnatullah
a. Hukum yang diwahyukan/ditulis
Hukum tertulis ini adalah yang diwahyukan Allah kepada para nabi dan rasul
yang terhimpun dalam kitab suci dengan ciri ciri :
1. Melibatkan manusia dengan hak pilihnya (yang baik dan yang buruk).
2. Time responsnya (cepat reaksi waktunya) panjang, mungkin lebih panjang
dari usia manusia, bahkan
sampai masa kehidupan akhirat, oleh karena itu perlu
iman/percaya.
3. Dan sebagiannya, terlihat dari perjalanan sejarah kemanusiaan (bagaimana
akibat orang yang durhaka dan
bagaimana dampaknya)
b. Hukum yang tidak diwahyukan/tidak tertulis
Hukum tak tertulis ini ialah hukum yang tidak diwahyukan oleh Allah kepada
nabi atau rasul, dengan ciri:
1. Tidak melibatkan manusia dalam proses berlakunya kemerdekaan manusia
tidak mempengaruhi hukum
itu.
2. Time responnya pendek, lebih pendek dari manusia.
3. Dapat dibuktikan dengan pengamatan manusia dan dengan jalan eksperimen
(oleh karena itu, Allah
memerintahkan manusia untuk mengadakan penyelidikan
terhadap kejadian dan keadaan di alam ini).
Sifat sunnatullah pertama adalah ketetapan, ketentuan, atau
kepastian, sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an berikut ini :
Q.S, Al-Furqon (25): 2, yang artinya :
“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Q.S At-Thalaq (65) : 3 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap
sesuatu”
Sifat sunnatullah yang pasti, tentu akan menjamin dan memberi kemudahan
kepada manusia membuat rencana. Seseorang yang memanfaatkan sunnatullah dalam
merencanakan satu pekerjaan yang besar, tidak perlu ragu akan ketetapan
perhitungannya dan setiap orang yang mengikuti dengan cermat
ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu bisa melihat hasil pekerjaan yang
dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu pekerjaan (usaha atau amal)
dapat diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaannya suatu rencana atau
pekerjaan orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat dipastikan perhitungannya
yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang terdapat dalam sunnatullah.
Manusia yang salah membuat suatu perhitungan atau perencanaan dengan mudah
dapat menelusuri kesalahan perhitungan dalam perencanaannya.
Sifat sunnatullah kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah.
Sifat ini diungkapkan dalam Al-Quran sebagai berikut :
Q.S Al-Isro (17): 77, yang artinya :
“Dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu”.
Sifat itu selalu terbukti dalam praktek, sehingga seseorang perencana dapat
menghindari kerugian yang mungkin terjadi kalau rencana dilaksanankan. Dengan
sifat sunnatullah yang tidak berubah-ubah itu seorang ilmuan dapat
memperkirakan gejala alam yang terjadi dan memanfaatkan gejala alam itu. Karena
itu seorang ilmuan dengan mudah memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan
gejala alam yang lain yang senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten.
Sifat sunnatullah yang ketiga adalah obyektif. Sifat
ini tergambar pada firman Allah sebagai berikut :
Q.S. Al-Anbiya (21): 105, yang artinya :
“bahwasanya dunia akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh”
Q.S Ar-Rad (13): 11, yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada oleh mereka sendiri”.
Saleh, artinya baik atau benar. Orang yang baik dan benar adalah “orang yang
bekerja menurut sunnatullah”. Jadi sunnatullah-lah yang menjadi ukuran
kebaikan dan kebenaran itu. Orang yang berkarya sesuai atau menurut sunnatullah
adalah orang yang “saleh“ atau orang yang baik dan benar. Kesalehan yang
dikarenakan telah menepati sunnatullah merupakan kesalehan umum (universal).
Kesalehan universal ini sebagai sifat objektif secara / keilmuan, yang biasanya
sangat signifikan dijumpai dikalangan para pengembang IPTEK dan para
intelektual lainnya. Mereka amat disiplin untuk mengikuti logika cerdas dan
sehat dibantu dengan upaya pembuktiaan hipotesis yaitu penelitian (istiqra).
Dengan demikian kebenaran yang terdapat dalam sunnatullah adalah kebenaran
objektif, berlaku bagi siapa saja dan dimana saja. Untuk memperoleh predikat
manusia saleh sekedar mentaati sunnatullah, berlaku pada semua manusia tidak
terbatas bagi kaum agamis semata sebab, bagi yang tidak berkarya sebagaimana
menurut keharusan aturan-aturan sunnatullah, seperti pemalas, tidak menempati
prinsip kerja yang efektif-efisien-produktif dan lain-lain, tidak akan mendapat
keberuntungan.
Dengan demikian sunnatullah itu berlaku objektif, karena tidak dipandang
saleh bagi orang islam (misalnya) yang ingin kaya tapi pemalas. Karena orang
islam tersebut tidak saleh terhadap sunnatullah.
Sekian dulu penjelasan dari saya, semoga apa yang saya jelaskan tadi bermanfaat bagi anda. Terima kasih telah berkunjung.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar