Jumat, 30 Desember 2016

Manusia Sebagai Makhluk Moral

Manusia Sebagai Makhluk Bermoral


Manusia juga disebut sebagai mahkluk yang bermoral. Moral merupakan aturan berperilaku tentang sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan.Di masyarakat kita ada aturanaturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengarahkan manusia untuk bergaul, berpakaian, bersikap, dan lainlain.
Dalam melakukan kegiatan sosial dan ekonominya, manusia hendaknya taat terhadap moral yang berlaku di masyarakat aga tidak merugikan pihak lain.Aturan tersebut bisa berkaitan dengan norma agama maupun norma kemasyarakatan. Contoh tindakan yang bermoral adalah berhemat, menggunakan sumber daya alam dengan baik, jujur, mengkonsumsi barang yang halal, menghargai sesama pemakai jalan, dan memelihara kelestarian alam. 
 
Apakah aturan lalu lintas yang kalian lihat pada gambar di halaman ini? Bisakah kalian menyimpulkan keberadaan atau hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang bermoral? Makhluk ekonomi yang bermoral? Makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral? Manusia memiliki salingketergantungan satu sama lain, setiap orang membutuhkan kehadiran dan bantuan oranglain dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut, manusia diharapkan tetap memperhatikan aturan sosial yang berlaku di sekelilingnya dan menggunakan ilmu ekonomi yang baik sehingga tindakannya tidak merugikan orang lain. Misalnya Bu Laras adalah seorang pedagang. Ia bekerja dengan jujur dan tekun dalam melayani pembelinya karena sadar bahwa pembeli akan memberinya penghasilan sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Ia memberikan timbangan yang sesuai, melayani dengan ramah setiap pembelinya.
 
Sumber : http://societykamaru.blogspot.co.id/2013/04/manusia-sebagai-mahluk-bermoral.html

Manusia Sebagai Makhluk Budaya

Manusia disebut sebagai mahluk berbudaya karena manusia memiliki akal dan budi atau pikiran dan perasaan. Dengan akal dan budi manusia berusaha terus menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi tuntutan jasmani dan rohani yang akhirnya menimbulkan kebahagiaan. Kebahagiaan bagi manusia sesuatu yang baik, benar dan adil.

Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya.

Berbudaya merupakan ciri khas kehidupan manusia yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia dilahirkan dalam suatu budaya tertentu yang mempengaruhi kepribadiannya. Pada umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang mendasari sikap dan perilakunya.

Kebudayaan merupakan induk dari berbagai macam pranata yang dimiliki manusia dalam hidup bermasyarakat. Etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan. Ukuran etis dan tidak etis merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan. Manusia membutuhkan kebudayaan, yang didalamnya terdapat unsur etika, untuk bisa menjaga kelangsungan hidup. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang menjaga tata aturan hidup. Selain didasarkan pada etika, berbudaya juga terkandung estetika di dalamnya. Jika etika menyangkut analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab, estetika membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya .

Sumber :
http://juliansyah-dhika.blogspot.com/2012/07/manusia-sebagai-makhluk-berbudaya.html
http://zoombosscoot.blogspot.com/2012/04/manusia-sebagai-makhluk-berbudaya.html

Nabi Muhammad Sebagai Penyempurna Akhlaq Manusia

Nabi Muhammad Sebagai Penyempurna Akhlaq Manusia

Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya selain memperkenalkan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, beliau juga menuntun umatnya untuk berperilaku mulia dan memberikan teladan kepada mereka. Dengan sikap sabar dan keteguhan hati, beliau mampu mengubah moral yang telah rusak menjadi manusia yang berakhlak mulia. Usaha yang dilakukan dalam membina akhlak mereka benar-benar menjadi terwujud sebagai masyarakat yang bermoral dan beradab. Karakter yang paling menonjol dari kepribadian Nabi Muhammad saw adalah akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi sangat agung dan melebihi semua akhlak seorang manusia manapun. Sampai-sampai Allah pun memuji akhlak Nabi Muhammad saw seperti terkandung dalam surat Al-Qalam ayat 4, Allah berfirman dalam ayat itu : “Dan sesungguhnya Kamu benar-benar berbudi pekerti yang Agung.”

Nabi Muhammad saw adalah Rasul pilihan pembawa risalah Islam. Beliau adalah khatamul anbiya’wal mursalin di muka bumi. Rasulullah saw memiliki pribadi yang mulia dan akhlak yang terpuji. Oleh karena itu beliau merupakan uswatun hasanah bagi umat manusia. Nabi Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan dan pertempuran. Ia sering menyendiri ke Gua Hira, sebuah gua bukit dekat Mekkah yang kemudian dikenal sebagai Jabal An Nur karena bertentangan sikap dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut. Di sinilah ia sering berpikir dengan mendalam, memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan. Pada suatu malam, ketika Nabi Muhammad sedang bertafakur di gua hira, Malaikat Jibril mendatanginya. Jibril membangunkannya dan menyampaikan wahyu Allah di telinganya. Ia diminta membaca, ia menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama.

Akhirnya Jibril berkata : “Bacalah dengan menyebut Nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan (menulis dan membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Setiap orang beriman wajib meyakini kebenaran yang dibawa oleh para Rasul, sebagai umat Nabi Muhammad saw kita harus mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw, beliau diutus oleh Allah SWT dengan berbagai macam tugas pokok, diantaranya yaitu :

Memberi Kabar Gembira dan Peringatan
Rasulullah saw memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT, serta mengikuti beliau. Sebaliknya beliau mengingatkan kepada mereka yang berbuat kejahatan, kemusyrikan, dan kemaksiatan agar menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang itu, pahamilah Firman Allah SWT dalam Surat Fatir ayat 24 : “Sungguh, Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satupun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan”.

Mengajarkan Ketauhidan
Rasulullah saw mengajarkan untuk mengesakan Allah SWT dan memberantas kemusyrikan yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah pada saat itu. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 25 : “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku”. Dan dalam surat Al-Anbiya ayat 163 : “Dan Tuhan Kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Menyempunakan Akhlak, Membangun Manusia Mulia dan Bermanfaat
Rasulullah saw diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik. Hal ini, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21 : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. Keluhuran akhlak Nabi Muhammad saw tercermin di seluruh aspek kehidupan beliau. Kecintaan terhadap masyarakat yang dipimpinnya menunjukkan kasih sayang yang tulus. Ketika berdakwah beliau mendapat cemohan, hinaan, tantangan, ancaman, dan pemboikotan dari kaum Quraisy, namun beliau tidak marah. Nabi Muhammad tidak membenci bahkan mendoakan mereka agar diampuni oleh Allah SWT, berikut doa Nabi Muhammad Saw“Wahai Tuhanku ampunilah dosa-dosa kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui” (H.R. Muslim). Sungguh Mulia Nabi Besar kita Nabi Muhammad saw.

Sumber :http://sajadahmuslimku.blogspot.co.id/2014/03/misi-nabi-muhammad-saw-sebagai.html 

Manusia sebagai Makhluk Peneliti

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENELITI
   
  Jika kita bicara tentang manusia sebagai makhluk peneliti. Manusia memang telah menjadi peneliti yang paling ulung. Semua hal yang ada sekarang, semua yang kita nikmati sekarang adalah hasil-hasil dari penelitian yang dilakukan manusia berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun. Namun sebagai makhluk Allah, kita tidak hanya menjadi kaya dalam hasil penelitian dalam duniawi. Ada kalanya kita harus tetap mengkaji islam sampai kita mengerti betul dan memahami apa yang menjadi kehendaknya dan apa yang menjadi larangannya.

      Namun, dalam kehidupan sekarang dapat kita lihat bagaimana sikap manusia sendiri. Mereka lebih menyakini apa yang disebutkan oleh para pakar-pakar dalam keilmuan mereka masing-masing tanpa menelaahnya kembali. Tentu dengan alquran dan hadist. Dengan begitu kita dapat akan mendapat ilmu yang benar-benar bermanfaat.

Tahukah kalian, mengapa hampir semua peneliti yang sudah menemukan hasil telitiannya memutuskan untuk masuk islam? Karena mereka telah mendapat rahmat dan dibukakan hatinya oleh Allah dengan cara mereka mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya dari Al-Qur'an dan As-sunnah yang mereka coba cocokkan.  Masih ingatkah firman Allah yang berbunyi.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
.
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya”[1] (QS: Yunus: 99)

Sebagai contoh adalah kebenaran yang telah dibuktikan oleh salah satu lembaga antariksa tebersar kita saat ini, NASA. Yaitu, bahwa benar adanya matahari akan terbit dari barat. Adalah seorang ilmuwan fisika ukrain. Dimitri Bolykov yang akhirnya diberikan rahmat oleh Allah. Beliau menyatakan keislamannya setelah menemukan bahwa putaran poros bumi kelak akan berbalik arah ini sesuai dengan sebuah hadist yang berbunyi.
““Tidak akan terjadi kiamat sehingga matahari terbit dari tempat terbenamnya, apabila ia telah terbit dari barat dan semua manusia melihat hal itu maka semua mereka akan beriman, dan itulah waktu yang tidak ada gunanya iman seseorang yang belum pernah beriman sebelum itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Dan riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).

Dan masih banyak lagi sebenarnya mukjizat Allah yang sudah terbukti. Namun, kita masih saja menyatakan islam hanya di bibir, naudzubillah. Padahal kita sudah diberi kesempatan oleh Allah dengan banyak tebuktinya firman-firman-Nya.

Selagi masih ada waktu. Selagi umur masih kita bisa manfaatkan. Selagi pintu maaf belum tertutup marilah kita sama-sama mengucapkan istighfar dan bertobat di hadapan-Nya.

Sumber :http://waktunyarizki.blogspot.co.id/2015/12/manusia-sebagai-makhluk-peneliti.html

Manusia Makhluk Belajar


Merujuk kepada informasi al-Qur’an pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Secara garis besar, konsepsi pendidikan dalam Islam adalah mempertemukan pengaruh dasar dengan pengaruh ajar. Pengaruh pembawaan dan pengaruh pendidikan diharapkan akan menjadi satu kekuatan yang terpadu yang berproses ke arah pembentukan kepribadian yang sempurna. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam tidak hanya menekankan kepada pengajaran yang berorientasi kepada intelektualitas penalaran, melainkan lebih menekankan kepada pendidikan yang mengarah kepada pembentukan keribadian yang utuh dan bulat.
Konsep pendidikan islam yang mengacu kepada ajaran Al-Qur’an, sangat jelas terurai dalam kisah Luqman. Dr. M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar menukil beberapa ayat Al-Qur’an dalam Surat Luqman. Beliau mengatakan, ada tiga kaedah asasi pendidikan dalam Islam menurut Al-Qur’an yang dijalankan oleh Luqman kepada anaknya. Seperti diketahui, Luqman diberikan keutamaan Allah berupa Hikmah, yaitu ketepatan bicara, ketajaman nalar dan kemurnian fitrah. Dengan keistimewaannya tersebut, Luqman ingin mengajari anaknya hikmah dan membesarkannya dengan metode hikmah itu pula.
Kaidah pendidikan yang pertama adalah peletakan pondasi dasar, yaitu penanaman keesaan Allah, kelurusan aqidah, beserta keagungan dan kesempurnaan-Nya. Kalimat tauhid adalah focus utama pendidikannya. Tidak ada pendidikan tanpa iman. Tak ada pula akhlak, interaksi social, dan etika tanpa iman. Apabila iman lurus, maka lurus pulalah aspek kehidupannya. Mengapa? Sebab iman selalu diikuti oleh perasaan introspeksi diri dan takut terhadap Allah. Dari sinilah Luqman menegaskan hal itu kepada puteranya dengan berkata, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. 31:16). Seorang mukmin mesti berkeyakinan bahwa tak ada satu pun yang bias disembunyikan dari Allah. Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam lipatan hati manusia. Dari sinilah ia akan melakukan seluruh amal dan aktivitasnya semata untuk mencari ridha Allah tanpa sikap riya atau munafik, dan tanpa menyebut-nyebutnya ataupun menyakiti orang lain.
Kaidah kedua dalam pendidikan menurut Luqman adalah pilar-pilar pendidikan. Ia memerintahkan anaknya untuk shalat, memikul tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar, serta menanamkan sifat sabar. Shalat adalah cahaya yang menerangi kehidupan seorang muslim. Ini adalah kewajiban harian seorang muslim yang tidak boleh ditinggalkan selama masih berakal baik.
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan istilah untuk kritik konstruktif, rasa cinta dan perasaan bersaudara yang besar kepada sesame, bukan ditujukan untuk mencari-cari kesalahan dan ghibah. Ummat islam telah diistimewakan dengan tugas amar ma’ruf nahi munkar ini melalui firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. “ (QS: 3.110).
Sabar itu bermacam-macam. Ada sabar atas ketaatan hingga ketaatan itu ditunaikan, ada sabar atas kemaksiatan hingga kemaksiatan itu dihindari, dan ada pula sabar atas kesulitan hidup hingga diterima dengan perasaan ridha dan tenang. Seorang beriman berada di posisi antara syukur dan sabar. Dalam kemuddahan yang diterimanya, ia pandai bersyukur. Sedang dalam setiap kesulitan yag dihadapinya, ia mesti bersabar dan introspeksi diri.
Kaidah ketiga adalah etika social. Metode pendidikan Luqman menumbuhkan buah adab yang luhur serta keutamaan-keutamaan adiluhung. Luqman menggambarkan hal itu untuk putranya dengan larangan melakukan kemungkaran dan tak tahu terima kasih, serta perintah untuk tidak terlalu cepat  dan tidak pula terlalu lambat dalam berjalan, dan merendahkan suara. Seorang muslim perlu diingatkan untuk tidak boleh menghina dan angkuh. Sebab, semua manusia berasal dari nutfah yang hina dan akan berakhir menjadi bangkai busuk. Dan ketika hidup pun, ia kesakitan jika tertusuk duri dan berkeringat jika kepanasan.
Sebenarnya, pendidikan dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya menjaga anak keturunan agar memiliki kualitas iman prima, amal sempurna dan akhlak paripurna.   Karena itu, tanpa banyak diketahui, di dalam islam, langkah awal pendidikan untuk mendapatkan kualitas keturunan yang demikian sudah ditanamkan sejak anak bahkan belum terlahir. Apa buktinya? Manhaj islam menggariskan bahwa sebaik-baik kriteria dalam memilih pasangan hidup adalah factor agama, bukan karena paras muka dan kekayaannya.  Sebab, diyakini, calon orang tua yang memiliki keyakinan beragama yang baik tentu akan melahirkan anak-anak yang juga baik.
Di dalam ajaran islam, orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Keduanya berkewajiban mendidik anak-anaknya untuk mempertemukan potensi dasar dengan pendidikan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa : “Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, maka kedua orangtuanya yang menjadikan dirinya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Bukhari). Kewajiban ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”. (QS. 20:132). Dalam ayal lain, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Dalam Islam, pentingnya pendidikan tidak semata-mata mementingkan individu, melainkan erat kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Konsep belajar/pendidikan dalam Islam berkaitan erat dengan lingkungan dan kepentingan umat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan senantiasa dikorelasikan dengan kebutuhan lingkungan, dan lingkungan dijadikan sebagai sumber belajar. Seorang peserta didik yang diberi kesempatan untuk belajar yang berwawasan lingkungan akan menumbuhkembangkan potensi manusia sebagai pemimpin. Firman Allah (QS Al Baqarah 30) menyatakan :”Sesungguhnya Aku jadikan manusia sebagai pemimpin (khalifah) di atas bumi”.  Kaitan dengan pentingnya pendidikan bagi umat, Allah berfirman: ”Hendaklah ada di antara kamu suatu ummat yang mengajak kepada kebajikan dan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. 3:104).
Konsep pendidikan dalam Islam menawarkan suatu sistem pendidikan yang holistik dan memposisikan agama dan sains sebagai suatu hal yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain, yang secara umum ditunjukkan dalam doa Rasulullah : “Ya Allah, ajarilah aku apa yang membawa manfaat bagiku, serta karuniakanlah padaku ilmu yang bermanfaat”. Dari doa tersebut terungkap bahwa kualitas ilmu yang didambakan dalam Islam adalah kemanfaatan dari ilmu itu. Hal ini terlihat dari hadits Rasulullah : “Iman itu bagaikan badan yang masih polos, pakaiannya adalah taqwa, hiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu.”
Pemisahan dan pengotakan antara agama dan sains jelas akan menimbulkan kepincangan dalam proses pendidikan, agama jika tanpa dukungan sains akan menjadi tidak mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan akhlaq atau etika yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak yang merusak. Murtadha Mutahhari seorang ulama, filosof dan ilmuwan Islam menjelaskan bahwa iman dan sains merupakan karakteristik khas insani, di mana manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran dan wujud-wujud suci dan tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu. Ini adalah kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Tetapi di lain pihak manusia pun memiliki kecenderungan untuk selalu ingin mengetahui dan memahami semesta alam, serta memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, sekarang dan masa mendatang (yang merupakan ciri khas sains).
Al-Qur’an berkali-kali meminta manusia membaca tanda-tanda alam, menantang akal manusia untuk melihat ke-MahaKuasa-an Allah pada makhluk lain, rahasia penciptaan tumbuhan, hewan, serangga, pertumbuhan manusia, kejadian alam dan penciptaan langit bumi. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan tentang kejadian-kejadian di sekitar kita yang menuntut pemahaman dengan sains/akal manusia. Karena itu, seorang muslim juga diwajibkan untuk mempelajari sains, karena sains hanyalah salah satu pembuktian kekuasaan Allah, di samping ayat-ayat qauliyah. Karenanya, konsep pendidikan dalam islam menurut Al-Qur’an pun tidak hanya berisi materi-materi pendidikan keagamaan saja.
 Dalam sebagian kesempatan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan : “Salah satu perkara yang telah diketahui secara luas oleh segenap kaum muslimin dan juga oleh para ulama secara khusus ialah bahwasanya menambah pemahaman dalam ilmu agama serta menimba ilmu syar’i merupakan salah satu kewajiban yang paling penting, bahkan ia termasuk kewajiban yang paling utama untuk bisa beribadah kepada Allah jalla wa ‘ala; dimana Allah telah ciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya serta mengutus segenap rasul dengan misi ini, dan Allah perintahkan semua hamba untuk merealisasikannya”.
Beliau juga menerangkan : “Sementara tidak ada jalan untuk mengerti ibadah ini dan tidak ada jalan menuju kesana kecuali dengan ilmu, bagaimana mungkin seorang memahami ibadah yang diperintahkan kepadanya ini kecuali dengan ilmu”.

Beliau menjelaskan: “Hakikat ilmu itu adalah yang bersumber dari Kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu ini adalah apa-apa yang diucapkan oleh Allah dan apa-apa yang diucapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Beliau juga berkata: “Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim dan juga muslimah untuk mempelajari dan menambah pemahaman ilmu agamanya, supaya dia bisa mengerti bagaimana tata-cara beribadah kepada Rabbnya, bagaimana menunaikan kewajiban yang Allah berikan kepadanya, dan bagaimana bisa menjauhi apa-apa yang diharamkan Allah atas dirinya”.

Beliau melanjutkan: “oleh sebab itu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين
Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya maka Allah akan pahamkan dia dalam urusan/ilmu agama.” (Muttafaq ‘alaih)”

Beliau juga menekankan: “Maka menjadi kewajiban bagi segenap mukallaf/orang yang telah terkena kewajiban syari’at dari kalangan lelaki dan perempuan untuk belajar dan menambah pemahaman ilmu agamanya dari jalan al-Qur’an dan as-Sunnah dan bertanya kepada ahli ilmu/ulama dan orang-orang yang memiliki pemahaman.

Allah ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kalian kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Anbiyaa’ : 7)

Bisnis dengan Allah

Bisnis yang Tak Akan Pernah Merugi, Berbisnis dengan Allah



Sebagai orang beriman tentu kita tahu dan sadar bahwa diri kita dan apapun yang ada di dunia ini milik Allah. Apalagi Allah telah menegaskan hal ini dalam kitab sucinya:

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah [2]: 284)

Karena itu, sesungguhnya Allah memiliki kuasa penuh atas semua yang dimilikinya, termasuk terhadap diri kita. Apakah Allah mau menghidupkan, mematikan, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberi nikmat atau mengazab; semuanya terserah Dia.

Dengan demikian sesungguhnya manusia sangat tergantung kepada kehendak Allah. Seandainya ada banyak orang hendak membunuh si fulan, tapi kalau Allah berkehendak menghidupkan dia, maka dia akan tetap hidup, sebagaimana Allah telah menyelamatkan dan membiarkan Nabi Ibrahim tetap hidup meskipun dia dihukum bakar oleh rezim Raja Namruz.

Begitu pula sebaliknya, meskipun si fulan dijaga kesehatannya oleh sebuah tim yang terdiri dari puluhan dokter yang sangat ahli, namun kalau Allah berkehendak mematikannya, maka tak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan nyawanya.

Karena begitu mutlaknya kekuasaan Allah terhadap manusia, maka sepatutnya manusia takluk dan menyerah kepada Allah. Seharusnya dia tunduk dan patuh atas apa saja yang Allah perintahkan kepada-Nya. Kalau ada sepasukan tentara yang menyerah kalah kepada lawannya lalu menjadi tawanannya, maka di bawah todongan senjata, tentara itu akan mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh musuhnya. Begitu pula para budak kerajaan, akan selalu mematuhi apa saja perintah raja, meskipun raja tidak memberikan upah sepeser pun kepada mereka.

Kita sadari, Allah jauh lebih berkuasa daripada raja ataupun musuh tentara itu. Allah tidak hanya dapat mematikan sepasukan tentara manusia, tetapi Dia dapat mematikan semua tentara yang ada di muka bumi secara serentak. Semua itu mudah bagi Allah. Karena itu seharusnya perintah Allah lebih dipatuhi daripada perintah siapapun yang ada di bumi ini.

Menariknya, meskipun kekuasaannya begitu mutlak, meski kita semua adalah ciptaan-Nya dan budak-Nya, namun karena Allah memiliki sifat asy-Syakur (Maha Balas Jasa) dan al-Haliim (Maha Penyantun), Dia tidak memerintahkan sesuatu kecuali Dia akan memberikan balas jasa kepada hamba yang Dia perintahkan. Perintah-Nya tidak gratis, tapi ada bayaran-Nya.

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS Al-Baqarah [2]: 281)

Yang lebih menarik lagi, bayaran yang Allah tawarkan bukan dalam kerangka kesepakatan kerja majikan-buruh, karena biasanya buruh digaji lebih kecil daripada jerih payahnya. Yang Allah tawarkan dalam al-Qur`an adalah kerangka kesepakatan bisnis, berupa pinjam-meminjam dengan bunga pinjaman yang berlipat ganda serta jual-beli dengan nilai tukar yang sangat tidak sebanding; ibarat meminjam seekor nyamuk lalu mengembalikan dalam bentuk seekor kuda atau membeli seekor lalat dengan bayaran seekor unta.

Berikut ini transaksi pinjam meminjam yang Allah tawarkan:

إِن تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.“ (QS: At-Taghabun [64]:17).

Adapun transaksi kedua yang Allah tawarkan adalah transaksi jual-beli atau perdagangan:

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ
وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah [9]: 111)

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS Faathir [35]: 29)

Jadi setiap orang yang sudah baligh (mencapai usia kesempurnaan akal) adalah pebisnis yang bertransaksi dengan Allah.

Semua modal bisnisnya (kehidupannya, kesempurnaan tubuhnya, kesempurnaan akalnya, kesehatannya, kepandaiannya, perasaannya, intuisinya, dan lain-lain) berasal dari Allah. Dia tinggal memutar roda usahanya dengan modal tersebut.

Transaksi bisnisnya adalah semua perbuatan dirinya sejak dia baligh sampai malaikat maut datang menjemputnya. Dan semua transaksi itu tercatat rapi serta detil. Tak ada secuil pun, bahkan tak ada sebesar dzarrah (atom) pun yang terluput oleh malaikat sang juru catat.

وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ
وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ

“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS Al-Qamar [54]: 52-53)

Begitu detilnya buku catatan itu, sehingga kelak para pendosa terperanjat kaget ketika menerima rapor mereka yang kebakaran itu.

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (Al-Kahfi [18]:49)

Setelah itu seluruh manusia dikumpulkan pada sebuah forum pengadilan yang dipimpin oleh Sang Pemilik Modal sendiri selaku Ahkamil Hakimin (Sang Hakim Yang Maha Adil) di suatu hari yang dinamakan Yaumul Hisab (Hari Penghitungan rugi/laba).

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)-nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS Al-Anbiya [21]: 47)

Berapa banyak manusia yang berhasil membukukan laba? Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Sang Pemilik Modal Yang Maha Kaya—sekaligus Sang Hakim Maha Adil—itu telah menyebarkan bocoran informasi bahwa hampir semua “mitra bisnisnya” gagal membukukan laba. Hasil auditing terhadap terhadap neraca keuangannya menunjukkan hasil bahwa bisnis mereka membukukan kerugian.

Tapi ada juga yang membukukan keuntungan dalam berbisnis dengan Allah. Siapa mereka? Simak saja bocoran di bawah ini:

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (gagal membukukan laba dalam bertransaksi dengan Allah), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103]: 1-3).

Selamat bertransaksi dengan Allah. Semoga transaksi kita membukukan laba.

Sumber :http://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2013/04/22/4691/bisnis-yang-tak-akan-pernah-merugi-berbisnis-dengan-allah.html

Shalat Jama' dan Qashar

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

Oleh
Abdullah Shaleh Al-Hadrami

MAKNA DAN HUKUM QASHAR.

 Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.[1]
Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan para ulama).[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir”[An-Nisaa’/4: 101]

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut di serang orang-orang kafir”, padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut.[3]

“Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar”[4]

“Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalatIed adalah dua raka’at”[5]
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta’ala telah berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”[Al-Ahzaab/33 : 21][6]

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]

JARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN MENGQASHAR.


Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas.[8]

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.[9]

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]

Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.

Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at” [11]

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.


Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa’di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.[12]

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.[13]
Nafi’ rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.[14]

Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut.[15]

SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.


Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta’ala telah berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21][17]

Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari’atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]

JAMA’.


Menjama’ shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan ‘Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama’taqdim dan jama’ta’khir.[19]

Jama’ taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan ‘Isya’ dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama’ ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan ‘Isya’dikerjakan dalam waktu, Isya’, Jama’ ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa’ala alihi wasallam.[20]

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya – baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]
Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.”[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]

MENJAMA’JUM’AT DENGAN ASHAR.


Tidak diperbolehkan menjama’ (menggabung) antara shalat Jum’at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dan Ashar.

Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27]
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]

Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain.[29]

JAMA’ DAN SEKALIGUS QASHAR.


Tidak ada kelaziman antara jama’ dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wa sallam pernah melakukan jama’sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31] Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32] Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33]

MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.


Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasalla”[34]

MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.


Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam.[36]

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib.[37]

SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR.


Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum’at bagi usafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum’at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada’ Beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama’ (digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.

Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama’) yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya.[41]

Wallahu A’lam dan Semoga Bermanfaat.


Sumber: https://almanhaj.or.id/1336-seputar-hukum-shalat-jama-dan-qashar.html

Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah

Kumpulan kaidah fikih tentang ibadah mahdhah. Ibadah dalam Islam, ada yang disebut sebagai ibadah mahdhah ada juga disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Namun sebelum membahas maksud dari ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, terlebih dahulu didefinisikan pengertian ibadah.

Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain, ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau maksud-maksud lainnya.

Selanjutnya berkaitan dengan mahdhah. Maksud dari ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah [penyelenggaraan jenazah].

Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah. Dalam istilah lain dikatakan bahwa semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk taqarrub ilallah, serta tempat dan waktunya tidak diatur secara rinci oleh Allah, maka itu disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah adalah sedekah, infaq, membuang sesuatu yang dapat menghalangi orang di jalan, belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong royong, rukun dengan tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga perilaku yang terpuji.

Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :


  1. Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
  2. Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
  3. Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
  4. Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.

Khususnya dalam tulisan ini, yang difokuskan adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih [qawaid al-fiqhiyyah] yang berhubungan dengan ibadah mahdhah.

Kaidah-kaidah tersebut adalah :
۱. الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ

Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.

Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama dengan kaidah di atas,yaitu :

الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ

Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.

Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang disebutkan sebelumnya.

Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah maupun Nabi.

Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut.

Kendati demikian, saya juga mengakui bahwa apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia.

Berdasarkan adanya polemik ini, saya lebih cenderung untuk mengambil jalan tengah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Selain itu selama bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik ibadah tersebut dilakukan tidak berbeda dengan bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik seperti dalam ibadah mahdhah, maka menurut hemat saya juga bukan merupakan ibadah yang sia-sia. Begitu juga dengan amalan-amalan yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya.

Satu hal yang membuat saya lebih cenderung dan mantap untuk membolehkan ibadah yang tetapi tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah dan Nabi, bahwa dengan melakukan ibadah tersebut tidak ada dampak yang mempengaruhi kualitas iman seseorang kepada Allah dan tidak ada pula dampak berupa penyakit yang timbul hanya karena melakukan ibadah tersebut.

Berbeda halnya, apabila ibadah tersebut dilakukan akan membuat syirik atau dilakukannya ibadah itu dapat menimbulkan penyakit, maka tentunya tidak boleh dilakukan.

Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis. Selanjutnya kaidah yang kedua adalah :

۲ .طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ.

Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.

Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti yang dikemukakan pada artikel sebelumnya, yaitu :

الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِاشَّكِ.

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.

Kaidah berikutnya adalah :

۳. التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا.

Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.

Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.

Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian ingin melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia berpuasa atau membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila berdasarkan kaidah di atas, maka ia harus tetap berpuasa.

Akan tetapi karena adanya perjalanan [safar] merupakan illah hukum bolehnya [rukhsah] tidak berpuasa, maka seseorang tersebut dibolehkan tidak berpuasa. Walaupun di dalam perjalanan tersebut tidak ditemukan adanya kesulitan seperti yang terdapat pada kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ seperti pada artikel sebelumnya.
Contoh lainnya tentang puasa. Misalnya seseorang ingin membayar puasa ramadhan dan ketika di pertengahan puasanya, ia teringat bahwa pada hari itu adalah hari senin, sehingga ia ingin juga menggabungnya dengan puasa senin, maka orang yang dalam keadaan ini, tidak dapat mencampurkan dua ibadah tersebut dan ia harus menyelesaikan pembayaran puasa tersebut.

Kaidah selanjutnya :

٤. لَاقِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ الْمَعْنَى.

“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”.

Kaidah di atas adalah kaidah yang diperselisihkan di antara para ulama, sebab ketentuan pokoknya yaitu qiyas juga menjadi perdebatan para ulama. Kendati demikian, dalam artikel ini kaidah di atas tetap dibahas, karena berkaitan dengan ibadah mahdhah.

Maksud dari kaidah itu adalah untuk membatasi penggunaan qiyas. Qiyas yang dimaksudkan di sini adalah rasional atau logika. Artinya segala bentuk ibadah sebenarnya bisa saja dipikirkan dan dinalar karena ‘illah [motif timbulnya hukum] hukum ibadah tersebut dapat diketahui, namun karena ada pula ‘illah hukum ibadah yang tidak bisa dinalar. Dengan demikian, maka ibadah ini tidak bisa diqiyas [dinalar] sehingga diterima apa adanya.

Contohnya : shalat gerhana matahari atau gerhana bulan yang tidak dapat diketahui ‘illah hukumnya, sehingga para ulama pun melakukannya dengan ta’abbudi. Begitu juga ketika shalat maghrib, dua raka’at pertama dengan jahr [suara yang jelas], namun pada 1 raka’at yang terakhir dilakukan dengan sirr [hanya kedengaran oleh diri sendiri]. ‘Illah hukum kenapa raka’at terakhir dengan sirr tidak dapat diketahui. sama halnya dengan 2 raka’at terakhir shalat Isya. Oleh karena itu, semua diterima secara ta’abbudi.

Kaidah selanjutnya :

٥. تَقْدَيْمُ الْعِبَادَةِ قَبْلَ وَجُوْدِ سَبَبِهَا لَا يَصِحُّ.

Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.

Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum tiba waktunya, waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus dilakukan. Contohnya seperti shalat lima waktu, jika belum sampai waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal tertentu, misalnya menjamak shalat.

Kaidah berikutnya :

٦. كُلُّ بُقْعَةٍ صَحَّتْ فِيْهَا النَّافِلَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ صَحَّتْ فِيْهَا الْفَرِيْضَةُ.

Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.

Selama tempat tersebut bersih dan bisa digunakan untuk shalat, maka hal tersebut boleh untuk melaksanakan shalat. Contohnya, boleh atau sah melakukan shalat idul fitri atau idul adha di lapangan, maka sah pula melakukan shalat fardhu di tempat tersebut, selama tempat tersebut bersih dan suci.

Selanjutnya :

٧. الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.

Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.

Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua.

Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian [terlebih dengan yang sudah tua sekali], maka hal tersebut tidak jadi masalah, selama kita tidak bergegas pula.

Kaidah berikutnya :

٨. الْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا.

Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.

Maksud dari kaidah ini, ada keterkaitan antara perbuatan ibadah seseorang dengan tempat dan antara beribadah sendirian dengan berjamaah. Contohnya, shalat di lingkungan ka’abah lebih utama di luar ka’bah, namun apabila shalat di luar ka’bah secara berjama’ah maka lebih utama dibandingkan dengan shalat di lingkungan ka’bah tapi sendirian.

Begitu juga shalat di luar ka’bah, apabila dilakukan secara berjama’ah, maka lebih utama jika dibandingkan dengan sendirian. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi :

(صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. ﴿متفق عليه

Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (Muttafaqun alaihi).

Selanjutnya :

٩. الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبِرَة وَالْحَمَّام.

Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.

Maksud kaidah di atas adalah dimana saja kita berada asalkan bersih dari najis maka kita boleh melakukan shalat karena semuanya dianggap mesjid, kecuali di kuburan dan kamar mandi.

Dilarangnya di kuburan, karena dikhawatirkan akan timbulnya anggapan orang lain bahwa kita menyembah ke kuburan. Dilarangnya shalat di kamar mandi, karena semua orang sudah mengetahui bahwa kamar mandi merupakan tempat untuk membersihkan diri baik mandi atau pun buang hadas.

Timbul suatu pertanyaan, apakah boleh shalat di gereja? Berdasarkan kaidah tersebut, dibolehkan melakukan shalat di gereja atau tempat ibadah agama lain. Permasalahannya hanya kurang etis, selain itu bertentangan pula dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan ”Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.

Berikutnya :

۱۰. الْخَوْفُ يُبِيْحُ قَصْرَ صِفَةِ الصًّلَاةِ.

Kekhawatiran membolehkan qhasar shalat”.

Kaidah di atas dapat menjadi pegangan bagi seseorang, jika dalam suatu keadaan yang mendesak, dibolehkan untuk melakukan qhasar shalat. Contohnya, seseorang yang akan menuju suatu kota dan ia menumpang suatu armada bus, saat transit di sebuah tempat, dan armada bus tersebut hanya mampir sebentar, maka seseorang tersebut boleh mengqhasar shalat, karena ditakutkannya akan ketinggalan bus tersebut.

۱۱. الْعِبَادَةُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوْزُ فِعْلَهَا جَمِيْعِ تِلْكَ الْوُجُوْهِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا.

Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuknya”.

Maksud dari kaidah ini adalah, banyak cara dalam melakukan satu macam ibadah. Karena itu boleh memilih salah satu cara, bahkan yang mudah, asal konsisten melakukannya, namun dalam suatu waktu, boleh menggunakan cara yang lain, dan bahkan suatu waktu boleh juga menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi.

Contohnya, boleh saja melakukan shalat dhuha dua rakaat, meski lebih dari dua rakaat juga boleh, namun yang lebih bagus adalah yang dapat membuat kita konsisten melakukannya. Suatu waktu bisa saja kita melakukan lebih dua rakat. Sama halnya juga terkait dengan bacaan-bacaan dalam shalat, misalnya doa iftitah yang kita ketahui ada berbagai macam. Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.


Kaidah selanjutnya :

۱۲. الْجُزْءُ الْمُنْفَصَلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ.

Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut”.

Maksud dari kaidah di atas yakni, apabila ada salah satu bagian binatang yang terpisah dari bagian tubuhnya yang masih hidup, maka yang terpisah itu hukumnya seperti bangkai. Contohnya, seekor sapi yang kakinya terpotong, maka hukum dari kaki tersebut adalah haram menurut kaidah di atas, karena bagian lainnya masih hidup, sehingga yang terpisah itu hukumnya sama seperti bangkai.

Kaidah berikutnya adalah :

كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَفَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ.

Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadhanya”.

Kaidah ini terkenal dilakukan oleh ulama Syafi’iyyah, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal dilaksanakan, seperti shalat wajib, maka ia wajib mengqadhanya, kecuali untuk wanita yang meninggalkan shalat karena haidh, maka kaidah ini tidak diberlakukan pada mereka.

Namun tidak sedikit juga ulama yang tidak menerapkan kaidah di atas, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal atau tidak dilakukannya, maka kewajiban tersebut tidak bisa diqadha. Contohnya seperti tidak adanya qadha untuk shalat wajib.

Khusus untuk puasa wajib di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bagi yang meninggalkannya diwajibkan untuk membayar di hari yang lain di luar bulan ramadhan dan termasuk pula wanita yang tidak berpuasa karena haidh. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2: 184] :yang artinya :

Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Ada kaidah yang dipakai dalam kalangan Malikiyyah, tetapi pada mazhab lainnya tidak digunakan, yakni:

كُلَّ مَا يُفْسِدُ الْعِبَادَة عَمْدًا يُفْسِدُهَا سَهْوًا.

Setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkannya pula karena lupa”.

Kaidah di atas menunjukkan kehati-hatian dalam ibadah, apabila tidak sengaja melakukan kesalahan karena lupa atau hal lain yang dapat merusak ibadah, maka hal tersebut sama membatalkan ibadah tersebut. Contohnya seseorang yang sedang berpuasa kemudian makan, maka puasanya batal, walaupun makan itu karena lupa. Namun menurut mazhab ini ia tidak berdosa.

Berbeda halnya dengan pendapat yang lain, lupa adalah salah satu unsur yang dapat dimaafkan dalam ibadah, sebagaimana kaidah di bawah ini:

مَا لَايُمْكِنُ الْإِحْتِرَازِ مِنْهُ مَعْفُوٌ عَنْهُ.

Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.

Kalau kita lihat pada kaidah di atas, maka ketidaksengajaan tersebut dapat dimaafkan. Selain itu, ada hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka teruskan puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.

Kaidah berikutnya :

۱۳. لَاتَجِبُ فِى عَيْنِ وَاحِدَةٍ زَكَاتَانِ.

Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.

Kaidah ini bermaksud, apabila dalam satu benda yang sama, maka zakat yang dikeluarkan pun hanya sekali saja. Contohnya, seorang pedagang obat yang jika harta kekayaannya ditaksir sudah cukup memenuhi wajib zakat, maka zakat wajibnya hanya sekali setahun, meski kekayaannya sangat melimpah. Tetapi apabila pedagang obat ini memiliki juga usaha yang lain seperti memiliki perkebunan yang luas, maka ia diwajibkan juga berzakat dari hasil perkebunan tersebut.

Kaidah yang terakhir adalah :

. مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ كُلِّ مَنْ تَلْزَمَهُ.

Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahinya”.

Maksud dari kaidah ini ialah, seseorang yang telah wajib zakat fitrah, wajib juga mengeluarkan zakat bagi orang yang menjadi tanggungannya atau tanggung jawabnya. Contohnya, Seorang ayah atau suami wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anak-anaknya, selama anak tersebut masih menjadi tanggungannya. Begitu juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk isterinya. Semoga bermanfaat. wallahu'a'lam bishshawab.

Jumat, 14 Oktober 2016

Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Assalamu’alaikum Wr. Wb. 


     Pertama kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua sehingga kita dalam keadaan sehat wal afiat. Dan tak lupa kita haturkan shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke jalan yang benar ke jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT.


     Pada awalnya, Allah Ta’ala menciptakan seorang manusia di muka bumi ini, yaitu Adam AS. Ketika itu Adam as berada di Syurga bersama Iblis. Namun, karena enggannya Iblis mengikuti perintah Allah swt untuk sujud kepada Adam as maka Allah swt usir salah satu jenis dari kalangan jin ini dari syurga. Tinggallah Nabi Adam AS sendirian di surga.

    Ibnu Katsir menggambarkan kehidupan nabi Adam AS di syurga dengan cukup apik. Dia (Adam) berjalan-jalan sendirian di surga dalam kesepian. Saat dia tertidur, kemudian bangun, terlihat seorang wanita tengah duduk di dekat kepalanya. Adam kemudian menyapa:”Siapakah anda?” Jawab wanita tersebut:”Wanita”. Adam bertanya kembali:”Untuk apa anda diciptakan?” Jawab wanita tersebut:”Supaya anda jinak kepadaku”. Lalu, para Malaikat mendatangi Nabi Adam AS untuk mengetahui sejauh mana ilmunya. Mereka bertanya:”Siapakah namanya, Adam?” Jawab Adam:”Hawwa!” Malaikat bertanya:”Mengapa namanya Hawwa?” Jawab Adam:”Karena dia
dijadikan dari benda hidup” (Tafsir Ibnu Katsir).

    Itulah interaksi sosial pertama yang terjadi antara dua manusia. Interaksi antar dua manusia atau lebih merupakan fithrah basyariyah (naluri manusia) yang menjadikan hidup menjadi indah dan lebih bermakna.
Sifat sosial atau pakar yunani menyebutnya dengan zoonpoliticon adalah fitrah (karakter asal) manusia yang tidak dapat dipungkiri. Sehingga sudah menjadi keniscayaan baginya untuk melengkapi setiap puzzle kehidupannya dengan kehidupan sosial walaupun pada saat – saat tertentu manusia membutuhkan kesendirian.

    Sebagai seorang muslim Allah swt selain memerintahkan kita untuk bertaqwa (menjalankan perintah serta menjauhi larangan) kepada-Nya Allah swt memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Seperti firman Allah swt dalam Surat Ali Imran 110 :

” Kalian adalah umat terbaik yang dihantar di tengah – tengah manusia untuk mengajak kepada kebaikan serta mencegah kepada kemungkaran dan beriman kepada Allah ..”.

Perintah beramar ma’ruf nahiy mungkar (dakwah) ini tidaklah serta merta dilakukan secara individu. Amar ma’ruf nahiy mungkar ini dilakukan secara bersama – sama berkelompok dan tidak sendirian. Seperti ibarat seekor serigala tidak akan serta merta berani memakan segerombolan besar domba, sedangkan serigala akan langsung menerkam kambing yang sendirian.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung” Ali Imran : 104.

“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” Al ‘Ashr : 3.

Dr. Abdul Karim Zaidan dalam dalam kitabnya “Ushulud Dakwah” menjelaskan tiga alasan mengapa kita wajib berdakwah. Pertama, karena Allah telah mengutus Rasul-Nya untuk seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfirman:  

Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”. (Al-A’raf : 158)

Kedua, tersebarnya kemusrikan dan kekafiran di muka bumi akan membahayakan kaum Muslimin, baik cepat atau lambat. Ketiga, berdakwah berarti menghindarkan kaum Muslimin dari kebinasaan dan
azab Allah.

Zaenab binti Jahsy bertanya kepada Rasulullah saw.,  

“Ya Rasulullah, apakah kami akan binasa juga sedang ada di antara kami orang-orang yang masih melakukan kebaikan?” Rasulullah saw. Menjawab, “Ya, apabila kejahatan telah merata”.
( HR. Muslim, dikutip oleh Qurthubi dalam tafsirnya).

    Padahal menurut salim a fillah dalam bukunya saksikan aku seorang muslim kejahatan dimanapun dia berada pasti akan dikalahkan oleh kejahatan. dan sejarah telah membuktikan itu. Lalu kenapa saat ini kebaikan (Islam) secara nyata terdesak oleh kejahatan (maksiat, dst). Maka salim A Fillah menambahkan dalam bukunya karena kebaikan TIDAK MENDESAK kejahatan itu sendiri. kebaikan cenderung menikmati keterasingan, masa – masa sepi, berada di sudut – sudut kerumunan dan enggan mendesak kejahatan. maka disisi ini Amal Jama’i penting adanya bagi para aktor – aktor kebaikan.

Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. Barangsiapa ingin masuk ke dalam surga maka hendaklah komitmen kepada jama’ah” (HR At-Tirmidzi)

Sekian dulu penjelasan dari saya, semoga apa yang saya jelaskan tadi bermanfaat bagi anda. Terima kasih telah berkunjung.
 
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Manusia Sebagai Makhluk Otonom


Assalamu’alaikum Wr. Wb. 


     Pertama kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua sehingga kita dalam keadaan sehat wal afiat. Dan tak lupa kita haturkan shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke jalan yang benar ke jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT.

     
    Sebagai makhluk otonom, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap, dengan kata lain, ia adalah makhluk yang mandiri. Secara etimologi, Otonomi berasal dari bahasa Yunani “autos” yang artinya sendiri, dan “nomos” yang berarti hukum atau aturan, jadi pengertian otonomi adalah pengundangan sendiri. Otonom berarti berdiri sendiri atau mandiri. Jadi setiap orang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri. Ia harus dapat menjadi tuan atas diri. Berbicara mengenai manusia bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana, karena manusia banyak memiliki keunikan. Keunikan tersebut dinyatakan sebagai kodrat manusia. Manusia sulit dipahami dan dimengerti secara menyeluruh tetapi manusia mempunyai banyak kekuatan-kekuatan spiritual yang mendorong seseorang mampu bekerja dan mengembangkan pribadinya secara mandiri. Arti otonom adalah mandiri dalam menentukan kehendaknya, menentukan sendiri setiap perbuatannya dalam pencapaian kehendaknya. 

     Allah telah memberikan akal budi yang membuat manusia tahu apa yang harus dilakukannya dan mengapa harus melakukannya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu membedakan hal baik dan buruk dan membuat keputusan berdasarkan suara hatinya dan mampu bersikap kritis terhadap berbagai pilihan hidup. Manusia adalah makhluk hidup, yang mampu memberdayakan akal budinya, maka manusia mempunyai berbagai kemampuan, yakni mampu berpikir, berkreasi, berinovasi, memberdayakan kekuatannya sehingga manusia tidak pernah berhenti.

     
Allah memberi kebebasan kepada manusia. Meskipun kebenaran itu dari Allah, namun Allah tidak pernah memaksa manusia untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang ingin beriman, maka imanlah. Siapa yang ingin kafir, maka kafirlah. Pun demikian, Allah menciptakan manusia menurut fitrah beragama tauhid. Semua bayi yang lahir, mempunyai kesiapan untuk beragama Islam. Ketika ia besar, ia menjadi kafir atau memeluk agama selain Islam, maka itu adalah karena didikan dari orang tuanya.

      Karena sesungguhnya, Allah tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Jika ia sampai masuk ke neraka, itu tak lain karena ia sendirilah yang telah menganiaya dirinya sendiri.
Allah berfirman,  

“Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih.” (QS Al Insyiqaaq 24)

     Adanya perbedaan agama di dunia ini, iman atau kafir, itu adalah pilihan orang masing-masing. Di dunia ini, Allah tidak membedakan antara orang yang beriman dengan orang yang kafir dalam hal memberi rezeki.
Pernah Nabi Ibrahim As berdoa sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa:  

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS Al Baqarah 126)

     Banyak kita dapati, orang-orang kafir yang sukses dalam urusannya dengan duniawi. Perlu kita ketahui, bahwa Allah-lah yang telah menyediakan rezeki itu kepada semua manusia, entah ia kafir atau beriman. Jangankan manusia, pada binatang melata pun Allah juga memberi rezeki itu.
Kita sebagai orang yang beriman, tidak boleh terpedaya dengan kesuksesan orang kafir di dunia ini. Karena Allah berfirman, 

“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS Ali Imran 197)

Sekian dulu penjelasan dari saya, semoga apa yang saya jelaskan tadi bermanfaat bagi anda. Terima kasih telah berkunjung.
 
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.